LINTAS SUMBA – Dugaan korupsi yang melibatkan penggelembungan jumlah siswa penerima Dana BOS di 12 SD di bawah Yayasan Tunas Timur di Sumba Barat Daya, membuka banyak pertanyaan dan kritik terhadap pengelolaan pendidikan, pengawasan dana publik, serta etika dalam manajemen yayasan.

Pertama, tuduhan penggelembungan jumlah siswa yang mencapai ribuan orang adalah sesuatu yang sangat serius.

Jika benar, ini menunjukkan adanya kelalaian besar dalam sistem verifikasi dan pengawasan pemerintah. Dana BOS seharusnya digunakan untuk menunjang pendidikan siswa, bukan sebagai lahan untuk mencari keuntungan pribadi.

Dengan kerugian negara yang diperkirakan mencapai Rp12 miliar, kasus ini harus diusut tuntas.

Kejaksaan Negeri Sumba Barat harus memastikan bahwa proses penyelidikan berjalan secara transparan dan akuntabel, tanpa adanya intervensi dari pihak-pihak yang berkepentingan.

Kedua, respons dari Ketua Yayasan Tunas Timur Dr. Soleman Lende Dappa, yang mengelola sekolah-sekolah tersebut juga patut dikritisi. Alih-alih memberikan klarifikasi yang transparan dan kooperatif, ketua yayasan justru cenderung defensif dan menyangkal semua tuduhan.

Pernyataan bahwa yayasan tidak pernah mengintervensi penggunaan Dana BOS, padahal ada dugaan penggelembungan jumlah siswa, justru menimbulkan kecurigaan.

Sebagai pemimpin yayasan, seharusnya ada rasa tanggung jawab untuk memastikan bahwa dana publik yang dikelola digunakan secara benar dan tepat sasaran.

Ketiga, adanya isu nepotisme yang tersirat dalam laporan ini juga tidak bisa diabaikan. Ketika ketua yayasan menyebut bahwa anaknya tidak terlibat dalam struktur yayasan, namun kemudian membenarkan bahwa banyak yayasan di Indonesia juga diisi oleh keluarga, ini menunjukkan adanya masalah etika dalam pengelolaan yayasan.