LINTAS SUMBA – Pesta demokrasi seharusnya menjadi ajang bagi masyarakat untuk menunjukkan kedewasaan politik, memilih pemimpin yang terbaik untuk masa depan daerah. Namun, di balik semangat demokrasi, selalu ada segelintir pihak yang mengubahnya menjadi ladang perjudian.

Fenomena perjudian atau taruhan dalam Pilkada bukan hanya mencederai esensi demokrasi, tetapi juga menjadi pemantik konflik yang merusak tatanan masyarakat.

Kekacauan yang terjadi dalam beberapa Pilkada di Indonesia, tidak lagi murni soal kompetisi politik. Bukan pasangan calon (paslon) yang bertarung di panggung politik yang menjadi akar masalah, melainkan para pendukung yang tak bertanggung jawab.

Tidak dapat disangkal, perkembangan teknologi yang seharusnya menjadi sarana mempererat komunikasi justru dimanfaatkan oleh provokator.

Dengan akun-akun palsu, mereka menyebarkan narasi provokatif, tuduhan kecurangan, dan berita palsu yang dirancang untuk memanaskan suasana. Akun-akun ini sering kali mengatasnamakan kelompok tertentu atau mendukung salah satu paslon, padahal motif utamanya hanyalah menciptakan kekacauan.

Hasutan yang disebarkan akun palsu ini dengan cepat menyebar di media sosial, memanfaatkan emosi para pendukung yang fanatik atau kecewa. Dalam hitungan jam, satu unggahan provokatif bisa memicu konflik di dunia nyata.

Ironisnya, banyak masyarakat yang terprovokasi tanpa menyadari bahwa informasi tersebut berasal dari pihak yang tidak bertanggung jawab.

Selain itu, taruhan yang juga dilakukan menjadikan Pilkada seperti ajang taruhan olahraga, di mana kemenangan bukan lagi soal harapan akan perubahan, tetapi soal kepentingan finansial.

Ketika hasil Pilkada tidak sesuai harapan, kelompok pendukung yang kalah dalam taruhan mulai mencari kambing hitam. Mereka menyebarkan isu, menuduh kecurangan, bahkan menghasut pendukung lain untuk bertindak anarkis.

Ironisnya, sebagian besar provokator ini hanyalah “penumpang gelap” demokrasi, yang sebenarnya tidak peduli pada visi-misi paslon yang mereka dukung.