LINTAS SUMBA – Menggunakan agama sebagai tameng politik adalah strategi yang sering kali digunakan oleh calon kepala daerah untuk menarik perhatian pemilih.
Namun, pendekatan ini layak mendapat kritik tajam karena berpotensi membahayakan kesatuan dan toleransi masyarakat yang beragam.
Pertama, memanfaatkan agama dalam politik bisa memicu polarisasi di masyarakat. Indonesia dikenal sebagai negara dengan beragam agama dan keyakinan.
Ketika seorang calon kepala daerah menggunakan agama tertentu sebagai alat kampanye, hal ini dapat menciptakan perpecahan di antara pemeluk agama yang berbeda. Bukannya menyatukan, strategi ini malah berpotensi memperuncing perbedaan dan memicu konflik.
Kedua, agama seharusnya menjadi sumber inspirasi untuk kebaikan, bukan alat politik.
Ketika agama dijadikan senjata politik, nilai-nilai luhur yang seharusnya dijunjung tinggi bisa saja terdistorsi. Hal ini bisa mengurangi esensi spiritual dari agama itu sendiri dan menodai kesucian nilai-nilai keagamaan.
Ketiga, mengandalkan agama sebagai tameng politik sering kali mengalihkan perhatian dari isu-isu yang lebih substansial.
Pemilih seharusnya diberi kesempatan untuk menilai program dan visi calon kepala daerah berdasarkan kualitas kebijakan yang diusung.
Namun, ketika agama dipakai sebagai alat kampanye, fokus pemilih bisa beralih dari isu-isu penting seperti pendidikan, ekonomi, dan infrastruktur ke perdebatan identitas keagamaan.